Oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah-
Itulah Sholat Dhuha, sholat yang dikerjakan di awal siang, di saat matahari sudah terbit seukuran satu tombak. Anak onta kala itu mulai kepanasan oleh teriknya matahari.
Sholat Dhuha memang tidak semasyhur dengan sholat-sholat sunnah lainnya, karena banyak orang yang jarang mendengarkan penjelasan tentang kedudukan, hukum, dan dalil seputar Sholat Sunnah Dhuha.
Saking kurangnya penjelasan tentang sholat yang satu ini, sampai sebagian kaum muslimin ragu mengerjakannya, bahkan ia meninggalkannya selama hayat masih dikandung badan. Jadi, selama hidupnya, ia tak mengenal yang disebut dengan “Sholat Dhuha”. Yang ia kenal hanya “Sholat Lail” yang lebih dikenal dengan “Sholat Tahajjud”.
Pasalnya kenapa? Akibat kurangnya pengajaran dan keterangan dari para dai dan muballigh tentang hukum dan dalil yang mendasari Sholat Dhuha. Nah, sebagai sumbangsih dalam melestarikan Sholat Dhuha, maka kami menurunkan tulisan ini, setelah memohon kepada pertolongan dan taufiq-Nya.
Para pembaca yang budiman, Sholat Dhuha merupakan sholat yang amat diperhatikan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Tak heran bila beliau di suatu hari mengajari dan mewasiatkan sebagian sahabatnya agar memperhatikan sholat ini dalam kehidupan mereka.
Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata,أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ“Kekasihku (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) telah mewasiatiku tentang tiga perkara yang tak kutinggalkan sampai aku mati: Puasa tiga hari dalam setiap bulannya, Sholat Dhuha, dan tidur dalam keadaan (usai) berwitir”.[HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1178) dan Muslim dalam Shohih-nya (721)]
Wasiat dalam tiga perkara ini, bukan hanya didapatkan oleh Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Bahkan disana ada sahabat lain yang juga menerima wasiat mulia ini dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Dari Abu Ad-Darda’ -radhiyallahu anhu-
أَوْصَانِى حَبِيبِى -صلى الله عليه وسلم- بِثَلاَثٍ لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلاَةِ الضُّحَى وَبِأَنْ لاَ أَنَامَ حَتَّى أُوتِرَ
“Kekasihku -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mewasiatiku dengan tiga perkara yang tak akan kutinggalkan selama aku masih hidup : Puas tiga hari dalam setiap bulan, Sholat Dhuha dan agar aku tak tidur sampai aku berwitir”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 722), dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1433)]
Sholat Dhuha merupakan ibadah yang sudah masyhur di zaman kenabian. Para sahabat telah banyak mendengarkan perihal Sholat Dhuha dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Hal ini tergambar dari peristiwa yang dikisahkan oleh sebagian sahabat.
Dari Al-Qosim Asy-Syaibaniy, ia berkata
أَنَّ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى فَقَالَ أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلاَةَ فِى غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ. إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ ».
“Zaid bin Arqom pernah melihat suatu kaum sedang melaksanakan sholat di waktu Dhuha seraya beliau berkata, “Tidakkah mereka telah mengetahui bahwa sholat (yakni, Sholat Dhuha) pada selain waktu ini adalah lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda, “Sholatnya orang-orang awwabin (orang yang kembali kepada Allah) ketika memanasnya anak unta”. [HR. Muslim dalamShohih-nya (no. 748)]
Dinamai dengan “Sholat Awwabin”, karena tak ada yang mampu menjaga dan melaziminya, kecuali orang-orang awwabin.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,لاَ يُحَافِظُ عَلَى صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ قَالَ : وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِينَ“Tak ada yang menjaga Sholat Dhuha, kecuali seorang awwabin, dan ia (Sholat Dhuha) adalah Sholat Awwabin“. [HR. Ibnu Khuzaimah dalamShohih-nya (1224) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok(no. 1182). dan Ath-Thobroniy dalam Al-Awsath(no. 3865)]
Al-Imam Al-Munawiy -rahimahullah- berkata,
فيه رد على من كرهها وقال ان ادامتها تورث العمى
“Di dalamnya terdapat sanggahan atas orang yang membenci Sholat Dhuha seraya berkata, “Sesungguhnya melazimi Sholat Dhuha akan mewariskan kebutaan”. [Lihat At-Taisir (2/973)]
Kata “awwabin”, maksudnya orang-orang yang kembali kepada Allah dari dosa-dosanya.
Seorang hamba yang berbuat dosa akan jauh dari Allah sesuai dengan tingkat dosa yang ia kerjakan. Jika ia sadar dan meninggalkan maksiat dan dosa-dosanya, lalu menggantinya amal-amal sholih, maka ia dianggap telah kembali kepada Allah dan mendekat kepada-Nya dengan amal ketaatan yang ia kerjakan. Nah, di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa yang menjaga sholat ini adalah orang-orang yang taat dan selalu dekat dengan Allah -Azza wa Jalla-. Wallahu A’lam bish showab. [LihatHasyiyah As-Sindiy ala Al-Musnad]
Diantara orang-orang awwabin adalah Nabiyyullah Dawud –alahis salam-. Sholat inilah yang dahulu dilazimi oleh beliau. Ketika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- datang kepada para sahabat, maka beliau tetap melestarikan Sholat Dhuha ini, karena mencontoh Dawud –alaihis salam-.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman dalam menghibur Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-,اصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاذْكُرْ عَبْدَنَا دَاوُودَ ذَا الْأَيْدِ إِنَّهُ أَوَّابٌ (17) إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ (18) وَالطَّيْرَ مَحْشُورَةً كُلٌّ لَهُ أَوَّابٌ (19) [ص : 17 - 19]“Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan; dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan. Sesungguhnya dia amat suka kembali (kepada Tuhan). Sesungguhnya kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi. Dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. masing-masingnya amat kembali kepada Allah”.(QS. Shood : 17-19)
Al-Imam Ibnul Arabiy Al-Malikiy -rahimahullah- berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ الْإِشَارَةُ إلَى الِاقْتِدَاءِ بِدَاوُد فِي قَوْلِهِ { إنَّهُ أَوَّابٌ إنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ } فَنَبَّهَ عَلَى أَنَّ صَلَاتَهُ كَانَتْ إذَا أَشْرَقَتْ الشَّمْسُ فَأَثَّرَ حَرُّهَا فِي الْأَرْضِ حَتَّى تَجِدَهَا الْفِصَالُ حَارَّةً لَا تَبْرُكُ عَلَيْهَا بِخِلَافِ مَا تَصْنَعُ الْغَفْلَةُ الْيَوْمَ فَإِنَّهُمْ يُصَلُّونَهَا عِنْدَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بَلْ يَزِيدُ الْجَاهِلُونَ فَيُصَلُّونَهَا وَهِيَ لَمْ تَطْلُعْ قَيْدَ رُمْحٍ وَلَا رُمْحَيْنِ يَعْتَمِدُونَ بِجَهْلِهِمْ وَقْتَ النَّهْيِ بِالْإِجْمَاعِ
“Di dalam hadits ini terdapat isyarat tentang keteladan kepada Dawud dalam Firman Allah, “… Sesungguhnya dia amat suka kembali (kepada Tuhan). Sesungguhnya kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi…”. Jadi, Allah mengingatkan bahwa sholatnya Dawud ketika matahari bersinar. Panas matahari telah memberikan pengaruh pada tanah, sehingga anak unta merasakan panasnya tanah. Anak unta tak akan menderum padanya. Hal ini berbeda dengan sesuatu yang dilakukan oleh orang-orang lalai pada hari ini. Sesungguhnya mereka melaksanakan Sholat Dhuha saat terbitnya matahari. Bahkan orang-orang jahil lebih parah lagi. Mereka melakukan Sholat Dhuha, sementara matahari belum terbit seukuran satu-dua tombak. Mereka menyengaja (memilih) waktu terlarang menurut ijma’, karena kejahilan mereka”. [Lihat Thorh At-Tatsrib (3/352)]
Sholat Dhuha ini amat dianjurkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebab ternyata nikmat jasad yang berikan kepada kita diberi beban untuk bersedekah pada setiap harinya untuk setiap persendian dan tulang-belulang yang menopang jasad kita.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌبِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى“Bagi setiap persendian dari seorang diantara kalian terdapat sedekah. Jadi, setiap tasbihadalah sedekah, setiap tahmidadalah sedekah, setiaptahlil(ucapan Laa ilaaha illah) adalah sedekah, setiap takbiradalah sedekah, memerintahkan yang ma’ruf adalah sedekah, dan melarang kemungkaran adalah sedekah. Mencukupi hal itu, dua rakaat yang dilakukan pada waktu Dhuha”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (720) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1285, 1286 dan 5243)]
Al-Allamah Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah- berkata,
وفيه دليل على عظم فضل الضحى وكبير موقعها وأنها تصح ركعتين والحث على المحافظة عليها
“Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang agungnya keutamaan Sholat Dhuha dan besarnya kedudukan sholat ini serta sahnya Sholat Dhuha sebanyak dua rakaat dan terdapat anjuran untuk menjaga Sholat Dhuha”. [Lihat Aunul Ma'bud (4/116) oleh Al-Azhim Abadiy, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1415 H]
Persendian yang dimiliki oleh seorang manusia berjumlah 360. Setiap persendian itu membutuhkan sedekah berupa amal-amal sholih. Namun siapakah yang mampu mengumpulkan sejumlah amal sholih dalam setiap hari dengan jumlah tersebut. Disinilah akan tampak bagi anda fadhilah besar bagi Sholat Dhuha. Ternyata ia mampu mencukupi dan menutupi sedekah bagi 360 persendian manusia.
Dari Buraidah -radhiyallahu anhu-, ia berkata, “Aku pernah mendengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,فِي الإِِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُ مِئَةِ مَفْصِلٍ ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً . قَالُوا : فَمَنِ الَّذِي يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ ؟قَالَ : النُّخَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا ، أَوِ الشَّيْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ ، فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ“Pada diri manusia terdapat 360 persendian. Harus baginya bersedekah untuk setiap dari persendian itu”Mereka berkata, “Siapakah yang mampu melakukan hal itu wahai Rasulullah?”Beliau bersabda, “Dahak yang ada di masjid kau tanam, atau sesuatu (berupa gangguan) di jalan engkau singkirkan. Jika kau tak mampu juga, maka dua rakaat Sholat Dhuha telah mencukupi bagimu”.[HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/356), Abu Dawud dalam Sunan-nya (5242), Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya (1226), Ibnu Hibban dalamShohih-nya (1642), dan Ath-Thohawiy dalam Syarh Musykil Al-Atsar(no. 99)]
Al-Imam Al-Iroqiy -rahimahullah- berkata,
فِيهِ فَضْلٌ عَظِيمٌ لِصَلَاةِ الضُّحَى لِمَا دَلَّ عَلَيْهِ مِنْ أَنَّهَا تَقُومُ مَقَامَ ثَلَاثِمِائَةٍ وَسِتِّينَ حَسَنَةً
“Di dalamnya terdapat keutamaan besar bagi Sholat Dhuha, karena hadits ini menunjukkan bahwa Sholat Dhuha berkedudukan sama dengan 360 kebaikan”. [Lihat Thorh At-Tatsrib (3/349)]
Ibnu Abdil Barr berkata, “Ini merupakan sesuatu yang paling dalam (kuat) tentang keutamaan Sholat Dhuha”. [Lihat Al-Istidzkar (2/266) oleh Ibnu Abdil Barr, cet. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1421 H]
Kebaikan yang ada pada Sholat Dhuha menyamai pahala umroh. Sebuah keutamaan yang amat besar dan berharga. Adakah diantara kita yang mampu melakukan umroh dalam setiap harinya?! Jelas tak ada!! Namun keutamaan itu ternyata dapat dikejar dengan melazimi Sholat Dhuha.
وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لاَ يُنْصِبُهُ إِلاَّ إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ“Barangsiapa yang keluar menuju Sholat Dhuha, sedang tak ada yang membuatnya capek kecuali sholat itu, maka pahalanya laksana pahala orang yang ber-umroh”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 558). Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami'(no. 6228)]
Keutamaannya bukan cuma sampai disini, bahkan Allah memberikan penjagaan dan pemeliharaan dari segala keburukan dengan sebab Sholat Dhuha sebanyak empat rakaat.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ” ابْنَ آدَمَ صَلِّ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ أَكْفِكَ آخِرَهُ
“Allah -Azza wa Jalla- berfirman, “Wahai anak cucu Adam, sholatlah kepadaku empat rakaat pada awal siang, niscaya aku akan menjagamu pada akhir siang”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (5/287), Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (no. 2533-2534), Ad-Darimiy dalam Sunan-nya (1442), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro(3/47). Di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no. 674)]
Para pembaca yang budiman, dengan segudang pahala di dalamnya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkannya, mengajarkannya dan menjelaskan keutamaannya. Semua ini menunjukkan adanya dan pentingnya Sholat Dhuha.
Diantara perkara yang menunjukkan adanya Sholat Dhuha, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sendiri melaksanakan Sholat Dhuha pada hari penaklukan Kota Makkah sebanyak delapan (8) rakaat di rumah saudari Ali bin Abi Tholib, Ummu Hani’ -radhiyallahu anhuma-.
Dari Abu Murroh (bekas budak Aqil) berkata,
أَنَّ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِى طَالِبٍ حَدَّثَتْهُ أَنَّهُ لَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ. قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانِ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى
“Bahwa Ummu Hani telah meceritakan kepadanya bahwa tatkala tahun penaklukan Kota Makkah, Ummu Hani’ mendatangi Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, sedang beliau berada bagi atas Kota Makkah. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bangkit menuju air mandinya. Fathimah menutupi beliau. Kemudian beliau mengambil pakaiannya, lalu berselimut dengannya. Kemudian beliau melakukan Sholat Dhuhasebanyak delapan rakaat”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (336)]
Dalam riwayat Muslim (336) lainnya,
فَلَمْ أَرَهُ سَبَّحَهَا قَبْلُ وَلاَ بَعْدُ
“Ummu Hani’ berkata, “Aku tidaklah pernah melihat beliau Sholat Dhuha sebelum dan sesudahnya”.
Dari riwayat ini, sebagian orang menyangka Sholat Dhuha bukanlah sholat sunnah yang boleh dilazimi, dengan dalih bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sendiri tidak melaziminya!!
Sangkaan ini batil, sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak melaziminya karena beliau takut jika beliau melaziminya, maka akan turun perintah dan kewajibannya dari langit.
Sholat Dhuha ini serupa dengan Sholat Tarwih. Beliau tidak melaziminya, padahal beliau dalam banyak hadits menjelaskan keutamaannya, karena beliau takut jika dilazimi, maka akan turun kewajiban sholat itu dari Allah.
Dari A’isyah -radhiyallahu anha-, ia berkata
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ وَمَا سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا.
“Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- meninggalkan suatu amalan, sementara itu beliau menyukai untuk mengamalkannya, karena takut jika hal itu diamalkan oleh manusia, sehingga hal itu pun diwajibkan atas mereka. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah pernah melakukan sholat Dhuha sama sekali. Tapi sungguh aku melaksanakan Sholat Dhuha ini”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (1128) dan Muslim dalam Shohih-nya (718)]
Di dalam riwayat lain, Abdullah bin Syaqiq berkata kepada A’isyah -radhiyallahu anha-,
أَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى الضُّحَى قَالَتْ لاَ إِلاَّ أَنْ يَجِىءَ مِنْ مَغِيبِهِ
“Apakah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melakukan Sholat Dhuha?” Ia (A’isyah) berkata, “Tidak, kecuali jika beliau datang dari safarnya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (716) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (1292)]
Jadi, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- meninggalkannya, karena khawatir jika beliau lazimi, maka Sholat Dhuha akan berubah hukumnya menjadi wajib.
Adapun persaksian A’isyah -radhiyallahu anhu- bahwa ia tak pernah melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melaksanakan Sholat Dhuha, maka persaksian itu berdasarkan apa yang beliau ketahui.Namun sahabat lain adalah hujjah yang menyatakan bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melakukannya sebagaimana dalam hadits Ummu Hani’ di atas, dan berdasarkan hadits di bawah ini:
Anas -radhiyallahu anhu- berkata,
قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ إِنِّي لَا أَسْتَطِيعُ الصَّلَاةَ مَعَكَ وَكَانَ رَجُلًا ضَخْمًا فَصَنَعَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا فَدَعَاهُ إِلَى مَنْزِلِهِ فَبَسَطَ لَهُ حَصِيرًا وَنَضَحَ طَرَفَ الْحَصِيرِ فَصَلَّى عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ آلِ الْجَارُودِ لِأَنَسٍ أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى قَالَ مَا رَأَيْتُهُ صَلَّاهَا إِلَّا يَوْمَئِذٍ
“Seorang pria Anshor berkata, “Sesungguhnya aku tak mampu sholat bersamamu (yakni, bersama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-”). Pria itu seorang yang besar (gemuk)
Kemudian ia pun membuat makanan untuk Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, lalu ia mengundang beliau ke rumahnya. Dia hamparkan tikar untuk beliau dan memerciki pinggir tikar itu.
Kemudian Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sholat di atasnya sebanyak dua rakaat.
Lalu berkatalah seorang lelaki dari kalangan Alu Jarud kepada Anas, “Apakah dahulu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melaksanakan Sholat Dhuha?”
Anas menjawab, “Aku tak pernah melihat Sholat Dhuha, selain hari itu”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no, 670)]
Persaksian A’isyah tersebut bisa juga dipahami bahwa ia tak pernah melihat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melazimi sholat tersebut[1], atau mungkin itu adalah pernyataan beliau pertama kali, walaupun setelah itu beliau berubah dan rujuk dari pernyataan itu.
Ini dikuatkan oleh hadits yang berasal dari A’isyah -radhiyallahu anha- sendiri. Sekarang ada baiknya kami nukilkan lafazhnya agar kita semakin yakin bahwa A’isyah tidak meniadakan perkara Sholat Dhuha yang dilakukan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
A’isyah -radhiyallahu anha- berkata,كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى الضُّحَى أَرْبَعًا وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ“Dahulu Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melakukan Sholat Dhuha sebanyak empat rakaat atau lebih sebagaimana yang Allah kehendaki”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 719)]
Sebagai kesimpulan dari pembahasan ini, kami akan nukilkan ucapan seorang ulama dari India yang bernama Muhammad Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy -rahimahullah-, saat beliau berkata,
“Hadits-hadits yang teriwayatkan dalam Shohih Muslim dan selainnya ini, semuanya cocok (ketemu). Tak ada perselisihan di antara keduanya di sisi para muhaqqiqin. Walhasil bahwa Sholat Dhuha adalah sunnah mu’akkadah. Paling minimalnya adalah dua rakaat dan paling sempurnanya adalah delapan rakaat. Diantara kedua hal ini, empat atau enam rakaat. Keduanya lebih sempurna dibandingkan dua rakaat dan di bawah delapan rakaat. Adapun pengkompromian antara dua hadits A’isyah dalam meniadakan Sholat Dhuha-nya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan penetapannya, yaitu bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- biasa melakukannya pada sebagian waktu, karena keutamaan Sholat Dhuha, dan meningalkannya, karena khawatir jika Sholat Dhuha diwajibkan sebagaimana yang disebutkan oleh A’isyah. Ucapan A’isyah, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidak melaksanakan Sholat Dhuha, kecuali jika beliau datang dari safarnya”, ditafsirkan bahwa maknanya, “Aku tak pernah melihatnya…”, sebagaimana yang beliau katakan dalam riwayat kedua, “Aku tak pernah melihat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melaksanakan Sholat Dhuha”. Sebabnya (A’isyah berkata demikian), karena Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tak ada di sisi A’isyah pada waktu Dhuha, kecuali dalam waktu yang jarang. Karena, terkadang Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pada saat itu sedang safar atau terkadang ada, tapi beliau ada di masjid atau di tempat lain. Jika Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berada di sisi istri-istrinya, maka A’isyah hanya memiliki satu hari dari sembilan hari. Jadi, sudah tepat ucapan, “Aku tak pernah melihat beliau…”.”.[Lihat Awnul Ma'bud (4/116-117)]
Jadi, Sholat Dhuha walaupun jarang dikerjakan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, tapi bukan berarti bahwa tak boleh melaziminya. Beliau meninggalkannya dalam kebanyakan waktunya, karena alasan takut jika diwajibkan!!
Terakhir kami wasiatkan kepada para pencinta sunnah agar melazimi Sholat Dhuha ini. Di balik amalan ini terdapat pahala yang besar.
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash -radhiyallahu anhuma-, ia berkata,
بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً ، فَغَنِمُوا ، وَأَسْرَعُوا الرَّجْعَةَ ، فَتَحَدَّثَ النَّاسُ بِقُرْبِ مَغْزَاهُمْ ، وَكَثْرَةِ غَنِيمَتِهِمْ ، وَسُرْعَةِ رَجْعَتِهِمْ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَقْرَبَ مِنْهُ مَغْزًى ، وَأَكْثَرَ غَنِيمَةً ، وَأَوْشَكَ رَجْعَةً ؟ مَنْ تَوَضَّأَ ، ثُمَّ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لِسُبْحَةِ الضُّحَى ، فَهُوَ أَقْرَبُ مَغْزًى ، وَأَكْثَرُ غَنِيمَةً ، وَأَوْشَكُ رَجْعَةً.
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan. Mereka memperoleh ghanimah dan bersegera pulang. Lalu manusia pun memperbincangkan tentang sebentarnya peperangan mereka, banyaknya ghanimah mereka dan cepatnya kepulangan mereka.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu lebih sebentar peperangannya, lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kepulangannya dibandingkan mereka?Barangsiapa yang berwudhu’, lalu ia pergi ke masjid untuk Sholat Dhuha, maka ia lebih sebentar peperangannya, lebih banyak ghanimahnya dan lebih cepat kepulangannya”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad(2/175) dan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (no. 100). Hadits ini dinyatakan hasan-shohih oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (no. 668)]
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu-, ia berkata,
بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثا فأعظموا الغنيمة وأسرعوا الكرة فقال رجل : يا رسول الله ما رأينا بعث قوم أسرع كرة ولا أعظم غنيمة من هذا البعث فقال صلى الله عليه و سلم : ألا أخبركم بأسرع كرة وأعظم غنيمة من هذا البعث ؟ رجل توضأ في بيته فأحسن وضوءه ثم تحمل إلى المسجد فصلى فيه الغداة ثم عقب بصلاة الضحى فقد أسرع الكرة وأعظم الغنيمة
“Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mengirim pasukan. Mereka menganggap ghanimah itu besar dan mereka bersegera pulang. Berkatalah seseorang, “Wahai Rasulullah, kami belum pernah melihat suatu pasukan suatu kaum yang lebih cepat kepulangannya dan tidak pula lebih besar ghanimahnya dibandingkan pasukan ini”.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Maukah kalian aku kabari tentang orang yang lebih cepat kepulangannya dan lebih besar ghanimahnya dibandingkan pasukan ini? yaitu seorang berwudhu’ di rumahnya, lalu ia perbaiki wudhu’-nya, lalu ia berangkat ke masjid. Dia sholat shubuh di dalamnya. Kemudian ia iringi dengan Sholat Dhuha, maka sungguh ia lebih cepat kepulangannya dan lebih besar ghanimahnya”.[HR. Abu Ya'laa dalam Al-Musnad (no. 6559) dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya (no. 2535). Syaikh Al-Albaniy menilai hadits ini shohih dalam Ash-Shohihah (2531)]
Inilah keutamaan yang amat besar bagi mereka yang menghiasi pagi harinya dengan Sholat Dhuhadengan meraih serangkaian kebaikan, keutamaan dan pahala di balik Sholat Dhuha ini.
Semoga dengan risalah ringkas ini, para pembaca sudah mengerti kedudukan Sholat Dhuha ini. Aku berharap semoga Allah menghidupkan sunnah dan ajaran yang indah ini dengan tulisan ringkas ini. Amin…
[1] Apa yang kami nyatakan ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Baihaqiy -rahimahullah-. Beliau berkata, “Hadits yang diriwayatkan darinya (yakni, dari A’isyah) bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dulu tidak melaksanakan Sholat Dhuha, kecuali jika beliau datang dari safar. A’isyah hanyalah memaksudkan bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah melaziminya”. [Lihat Ma'rifah As-Sunan wal Atsar(2/334)]
0 komentar:
Post a Comment